2018: investasi APA?

Survei perilaku masyarakat Indonesia dalam berinvestasi oleh PT Schroders Investment Management  bertajuk: Study Investor Global Schroders (SIGS) 2017 menghasilkan fakta menarik yang layak Anda cermati.
BACA JUGA :
Dirilis akhir pekan ini, survei menyebutkan: mayoritas masyarakat Indonesia memiliki keinginan besar untuk berinvestasi. Hanya imbal hasil yang diharapkan terlalu tinggi dan kurang realistis. Saham, obligasi, komoditas dan properti menjadi instrumen investasi favorit masyarakat Indonesia.
Schoders menyebut: survei yang dimulai sejak Januari hingga Juni 2017 itu melibatkan 22.100 responden dari 30 negara. Khusus di Indonesia hasilnya layak untuk kita cermati yakni sebanyak  21% masyarakat memprioritaskan penggunaan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) di tahun depan untuk berinvestasi pada saham, obligasi atau komoditas.  Adapun, jumlah yang memprioritaskan investasinya di bidang properti juga mencapai 21%.
Direktur Schroders Investment Management Indonesia Michael T. Tjoajadi mengakui, saham, obligasi, atau komoditas menjadi instrumen investasi favorit. Sebanyak 23% masyarakat global menyukai jenis investasi tersebut. "Saham, obligasi dan komoditas merupakan kombinasi yang ideal untuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang," kata dia (23/11).
Adapun minat berinvestasi properti di Indonesia yang tinggi terdorong budaya kuat di masyarakat untuk berinvestasi di properti. Ini berbeda dengan investor global, hanya 13% yang memprioritaskan properti.
Alasan utama masyarakat Indonesia berinvestasi adalah untuk membantu anggota keluarga dengan cara memberikan penghasilan di masa kini maupun di masa depan. Namun imbal hasil yang diharapkan dinilai kurang realistis.
Hasil survei menunjukkan, 98% masyarakat Indonesia berharap dapat memperoleh imbal hasil 17,1% per tahun ketika berinvestasi dalam jangka waktu lima tahun. Sementara hanya 1% yang merasa akan mengalami kerugian saat berinvestasi. "Angka tersebut jauh melampaui ekspektasi masyarakat global yang menginginkan imbal hasil tahunan 10,2%," tandas dia.
Bahkan, indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) hanya sanggup memberi imbal hasil 7,2% per tahun dalam 30 tahun terakhir.
Selain itu, emosi mempengaruhi cara berinvestasi. Sebanyak 6 dari 10 responden mengaku emosi berperan penting saat membuat keputusan finansial.
Michael berpendapat, tingginya ekspektasi imbal hasil memperlihatkan adanya kesenjangan pengetahuan seputar investasi pada masyarakat Indonesia.
Untungnya, survei memperlihatkan, 88% responden merasa perlu meningkatkan pengetahuan investasi. Terlebih lagi, 92% di antaranya tergolong dalam investor milenial dengan rentang usia 18 sampai 35 tahun.
🍻
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis pembiayaan melalui pasar modal masih akan besar di 2018. Karena itu, pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), OJK memprediksikan akan ada kenaikan sekitar 25%. Adapun di 2017 ini IHSG naik 19,99%.

"Kalau sekarang IHSG naik 20%, tahun depan bisa 25%," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Jumat (29/12). IHSG ditutup di level 6.355,654 pada 2017, jika sesuai perhitungan OJK, IHSG 2018 akan bertengger di level 7.626.

Salah satu pendorong kenaikan IHSG menurut Wimboh adalah estimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi di 2018. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5% di 2018.

Meski demikian, analis punya prediksi pertumbuhan IHSG yang lebih rendah. Analis Semesta Indovest Sekuritas Aditya Perdana Putra, memperkirakan IHSG hanya akan tumbuh 12% di 2018. Dengan basis IHSG di level 6.300, Aditya memperkirakan IHSG 2018 akan ditutup di level 7.050.

Salah satu tantangan yang mungkin muncul adalah risiko kenaikan suku bunga. Dengan estimasi kondisi makro yang membaik, Aditya memprediksikan, ada potensi kenaikan suku bunga dari The Federal Reserve sebanyak 2-3 kali di tahun 2018. Sedangkan di dalam negeri, Aditya memprediksikan suku bunga acuan dari Bank Indonesia bisa jadi naik 1-2 kali tahun depan.

Namun, secara umum di pasar modal, Wimboh melihat trend pembiayaan di 2018 masih tetap besar. "Disini pembiayaan yang lebih cocok untuk pembayaran infrastruktur pusat dan daerah. Begitu mengeluarkan surat utang , sudah tidak ada risiko berubah suku bunga. Kalau kredit perbankan suku bunga bisa berubah, " ujar Wimboh.

menurut gw, secara teknikal sederhana, tren harga saham jpfa n cpin sulit dibedakan... ada kecenderungan kedua tren harga saham ini nyaris berhimpitan ... walo di akhir 2017, terbukti tren harga saham cpin lebe baek ... namun faktor musiman jelas berpengaruh pada tren keduanya ... yang agak nyata: per bulan April 2017, tren harga saham jpfa ambrol, biasanya terkait dengan faktor fundamental jpfa ... sebuah keanehan bwat saham2 terkait industri pakan n pangan, yang amat dibutuhkan oleh publik, bahwa tren harga saham keduanya cenderung turun atwa stagnan... kemungkinan terkait dengan tren kurs dolar/rupiah, yang ada kaitan dengan utang valas atwa bahan baku impor ... 2018: mungkin tidak jauh dari 2017, namun sedikit pembalikan arah akan terjadi terutama di paruh pertama 2018 (mirip awal 2017) ... well, liat aza :)

lage2, ada kemiripan tren harga saham ADHI, WSKT, n WIKA,yaitu cenderung menurun spanjang 2017 ... secara teknikal, gejolak tren paruh pertama 2017 lebe berhimpitan dibandingkan dengan paruh kedua 2017... menunjukkan adanya pemasukan dari proyek2 infrastruktur konstruksi yang baru justru terjadi pada paruh kedua, khususnya ADHI, yang memenangkan hati PT KAI dalam hal pendanaan LRT... di akhir 2017, akhir taon biasanya ditandai oleh pencairan dana yang dibutuhkan sebagai modal kerja lanjutan, khususnya untuk taon berikutnya, 2018... 2018: akan menjadi sebuah uji ketahanan industri bumn infrastruktur konstruksi, karna modal kerja tetap sulit ditingkatkan lebe tinggi, kecuali ADHI, yang sudah mendapatkan pendanaan LRT, yang dibutuhkan oleh negara penyelenggara Asian Games, Indonesia.

menurut gw: secara teknikal, ada kecenderungan tren harga saham GDYR kurang menarik hati trader saham dibandingkan dengan tren harga saham GJTL, n MASA ... namun tren harga saham MASA patut dicurigai sebagai tren saham gorengan, berarti tidak terlalu berbeda dari saham GDYR ... industri perlengkapan otomotif kita belakangan menjadi kurang menarik karna harga BBM sudah tinggi, dan fakta lapangan bahwa kemacetan lalin menjadi-jadi ... 2018: industri ban yang mengandalkan ekspor mungkin akan lebe baek kondisinya, khususnya MASA.




🌹
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fitch Ratings menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia dalam mata uang asing dan lokal dari BBB- menjadi BBB, dengan outlook stabil. Analis menilai, kenaikan ini berpotensi mendorong lembaga pemeringkat lainnya juga mengerek peringkat Indonesia.
Kepala Riset BNI Sekuritas Norico Gaman berpendapat, kenaikan rating oleh Fitch memberikan sentimen positif terhadap kemampuan Pemerintah Indonesia untuk membayar kewajiban utang yang lebih baik.
Sehingga, kenaikan peringkat utang Indonesian oleh Fitch diharapkan nantinya akan diikuti oleh lembaga pemeringkat lainnya seperti Moody's dan Standard & Poors (S&P).
"Kenaikan peringkat utang juga menunjukkan risiko investasi yang semakin turun di Indonesia sehingga dapat menarik dana investasi asing dari para investor global," jelas Norico kepada KONTAN, Kamis (21/12).
Menurutnya, terpancingnya dana investasi asing ke dalam negeri akan memberikan dampak positif secara langsung ke sektor keuangan seperti perbankan. Sebab, ketika muncul sentimen kondisi makro yang lebih stabil, dana asing akan mengalir ke pasar finansial terlebih dahulu, seperti saham atau obligasi.
Setelah itu, barulah dana asing mengalir ke sektor riil dalam bentuk foreign direct investment (FDI). "Ketika dana investor asing masuk ke pasar saham, maka saham sektor perbankan yang diburu terlebih dahulu, karena perbankan adalah darah perekonomian nasional," imbuh Norico.
Berbicara soal FDI, ada sejumlah sektor yang paling diminati investor asing. Head of Research Mirae Asset Sekuritas Taye Shim membaginya ke dalam tiga bagian, yakni sektor primer, sekunder dan tersier.
Di sektor primer, asing paling menyukai sektor perkebunan. Sektor pertambangan juga paling diminati. Sedangkan sektor sekunder, industri makanan jadi paling yang diminati. Untuk sektor tersier, industri listrik, gas dan air jadi yang paling favorit.
Jika mengerucut ke saham pilihan versi Mirae, saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi salah satu top picks. Dari sektor basic industry, ada saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT). Taye juga menambahkan tujuh saham baru dalam portofolio top picks-nya, yakni saham BMRI, BBNI, GGRM, KLBF, SCMA, dan ANTM.
🍴

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menyentuh rekor baru dengan kenaikan 0,6% menjadi 6.221,01, Jumat (22/12). Dalam sepekan, IHSG sudah naik 1,66%.
Analis Binaartha Parama Sekuritas M. Nafan Aji menilai, pekan ini memang banyak katalis positif dari dalam dan luar negeri. Sejumlah indikator makro seperti inflasi dan cadangan devisa yang terjaga, turut menguatkan indeks.
Tambah lagi, Fitch Ratings kembali menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi BBB. "Penguatan IHSG mencerminkan fundamental ekonomi yang stabil," ujar Nafan.
Analis Danpack Sekuritas Harry Wijaya menilai, pekan depan, IHSG masih bisa menguat. "Tapi kenaikannya terbatas, karena tinggal sisa tiga hari perdagangan di tahun ini," ujar dia. Harry memperkirakan IHSG akan bergerak di rentang 6.200–6.300.
Nafan menambahkan, Hari Raya Natal akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan berimbas positif pada saham sektor konsumer. Menurut dia, pekan depan, IHSG masih bisa naik terbatas dengan rentang 6.170–6.250.
🍌
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 6.167 yang mencapai rekornya pada penutupan hari ini, Asing masih mencatatkan net sell. Secara year to date (ytd) saja, asing masing mencatatkan net sell hingga Rp 41,08 triliun.
Darmawan Halim, Head of Research Mirae Asset Sekuritas bilang, ada beberapa hal yang membuat asing keluar dari pasar Indonesia. Pertama, aksi profit taking setelah S&P menaikkan rating Indonesia. Hal ini terbukti dari masa dimulainya tren net sell setelah adanya kenaikan rating dari S&P.
"Yang kedua adalah karena pertumbuhan Indonesia yang tidak terlalu sesuai dengan ekspektasi," kata Darmawan, Selasa (19/12). Ia mengatakan, ekspektasi pertumbuhan adalah sebesar 5,3%, tapi kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,1%.
Darmawan berharap, di tahun 2018 yang akan datang, asing bisa mulai masuk ke Indonesia, apalagi jika melihat tren masuknya asing dalam siklus dua tahunan sejak tahun 2013 yang lalu.
Lagi pula, dengan flatnya pasar di Amerika, pertumbuhan di emerging market akan lebih tinggi dengan kemungkinan profit taking dari pasar Amerika Serikat di tahun 2018 yang akan datang. Asing juga akan mempertimbangkan pendapatan dari perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.
Menurut dia, investor asing akan memilih saham-saham dengan kapitalisasi pasar yang cukup besar dan likuiditas yang cukup baik. "Asing cenderung melihat pendapatan dibandingkan dengan laba perusahaan," kata Taye Shim, Economic Strategist Mirae Asset Sekuritas, Selasa (19/12).
Terkait dengan masih naiknya IHSG meski asing terus mencatatkan penjualan, Taye bilang bahwa hal ini terjadi karena lokal bisa menahan keluarnya dana asing tersebut, sehingga IHSG masih bisa memiliki potensi kenaikan hingga akhir tahun yang akan datang.


🌲
Liputan6.com, Jakarta - Krisis ekonomi 10 tahunan pada 1998 dan 2008 masih membayangi Indonesia. Kekhawatiran krisis ini akan kembali terulang cukup besar. Namun, fundamental ekonomi Indonesia diklaim kuat untuk menghadapi badai krisis tersebut.
Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo mengungkapkan, kondisi fundamental ekonomi suatu negara dapat menjadi indikator awal kekuatan negara tersebut menghadapi krisis yang bersumber dari global maupun domestik.
"Bicara krisis ekonomi tidak ada siapa pun yang tahu kapan dan di mana akan muncul. Tapi fundamental ekonomi Indonesia so far baik," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Dody menjelaskan, rata-rata ekonomi Indonesia bertumbuh sekitar 5,1 persen dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir. Stabilitas makro ekonomi yang terjaga ini diiringi perbaikan indikator lain.
"Inflasi kita rendah dan stabil sekitar 3-3,5 persen di 3 tahun terakhir, defisit transaksi berjalan sehat di bawah 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)," ujarnya.
Indikator lainnya, sambung dia, nilai tukar rupiah stabil karena rata-rata pelemahan hanya 0,4 persen dalam setahun terakhir dengan volatilitas yang rendah sekitar 2-3 persen. Sementara defisit anggaran terjaga di bawah 3 persen terhadap PDB.
"Stabilitas makro ekonomi ini didukung stabilitas sistem keuangan yang kuat, seperti permodalan, kualitas kredit, likuiditas bank yang kuat dan baik, serta reformasi struktural khususnya infrastruktur yang terus berlangsung dengan progres yang sangat positif," jelas Dody.
🐙

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Northstar Equity Partners Patrick Walujo menyatakan sangat optimistis dengan ekonomi Indonesia tahun depan. Namun investor perlu tetap waspada.
Menurut Patrick, proyek infrastruktur yang gencar dibangun pemerintah menjadi salah satu sentimen positif. Sejumlah proyek tersebut akan rampung pada 2018 dan 2019. "Begitu proyeknya selesai, efek multiplier-nya tidak cuma besar, tapi juga multiyears," katanya dalam acara Binaartha Summit di Hotel Pullman, Jakarta, Senin, 11 Desember 2017.

Komisaris Go-Jek Indonesia itu mengaku kagum dengan capaian pembangunan infrastruktur di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Untuk jalan tol saja, pemerintah saat ini telah membangun 2,4 kali lebih banyak sejak 1976.
Patrick mempercayai pembangunan infrastruktur akan berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut juga akan mendorong investasi.
Namun dia mencatat tetap perlu kewaspadaan dalam berinvestasi di Indonesia. Salah satunya karena pasar yang pasti bergejolak. Sentimen baik dari luar atau dalam negeri bisa sangat mempengaruhi pasar. Patrick menuturkan perusahaannya mencoba mengantisipasi gejolak dengan menyediakan arus kas yang cukup.
Investor juga dinilai perlu memperhatikan ketersediaan sumber daya manusia di Indonesia. "Berinvestasi di sini perlu banyak perhatian untuk mengembangkan sumber daya manusia," ujarnya.
Pola konsumsi masyarakat pun berubah, terutama setelah perubahan gaya hidup. Pemilik dana perlu ekstra hati-hati menentukan sektor investasi. Seperti yang juga dinyatakan Badan Pusat Statistik, pola konsumsi masyarakat mulai bergeser dari non-leisure ke leisure.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah biaya. Patrick menuturkan relative cost harus diusahakan serendah mungkin. "Kami manage lewat efisiensi dan produktivitas supaya kompetitif," ucapnya.
🐜


🌳
Bisnis.com, JAKARTA -Deutsche Bank menyebutkan setidaknya ada 30 sentimen negatif yang akan memengaruhi pasar keuangan di tahun 2018 mendatang.
Salah satunya, adalah investasi yang saat ini tengah ramai dibicarakan yakni mata uang virtual bitcoin.
Kepala ekonomi internasional Deutsche Bank Torsten Slok mengatakan boomingnya  bitcoin tahun ini dapat menimbulkan risiko nyata bagi pasar yang lebih luas tahun depan.
Selain bitcoin, Slok juga menyebutkan beberapa risiko lainnya yang bisa memengaruhi pasar adalah inflasi AS yang lebih tinggi dan ancaman Korea Utara. Demikian seperti dikutip dari CNBC.com Senin (11/112).
Bitcoin telah muncul sebagai fenomena keuangan tahun ini karena mata uang digital ini  sempat menyentuh angka US$19.000 pekan lalu.
Slok menyebutkan pasar belum memiliki harga yang tepat sehingga bisa memiliki dampak yang lebih besar tahun depan.
"Selama ini pasar masih belum melihat dampak besar yang bisa ditimbulkan oleh fenomena bitcoin ini," ujarnya.
Dia juga mengkhawatikan perubahan harga bitcoin akan semakin "liar" dan memberikan dampak sistemik terhadap pasar keuangan tahun depan.
Menurutnya beberapa kekhawatiran yang mungkin bisa timbul adalah kenaikan harga yang tidak terprediksi dan dia yakin bitcoin masih akan menjadi topik "panas" tahun depan.
Harga Bitcoin naik cukup tajam pada hari Minggu (10/12) waktu setempat setelah Cboe Futures Exchange memulai bursa perdagangan bitcoin (bitcoin futures).

Menurut data Coinbase, harga bitcoin bertengger di US$14.890 pada pukul 6 sore waktu New York dan kemudian melonjak sekitar US$700 menuju US$15.686,85 pada pukul 6.30 sore atau berselang hanya sekitar 30 menit.

Sementara itu, bitcoin futures yang baru diluncurkan tersebut dikabarkan mengalami kenaikan 4,5% menjadi US$16.150 di Cboe pada awal perdagangan. Pada Minggu, Cboe meluncurkan bitcoin futures dengan kode 'XBT' menyusul kenaikan besar dalam harga mata uang virtual (cryptocurrency) itu tahun ini.
Berikut 30 sentimen berisiko pengaruhi pasar keuangan tahun depan menurut Deutsche Bank.


Sumber : CNBC

JAKARTA – Kalangan analis merekomendasikan sebanyak 17 saham yang bisa menjadi pilihan investor pada 2018. Potensi keuntungan (capital gain) dari saham-saham tersebut berkisar 10,7-227%. Saham sektor perbankan, komoditas, konsumsi, serta infrastruktur-konstruksi bakal berkibar.

Saham PT Gozco Plantations Tbk (GZCO) tercatat sebagai saham yang berpeluang mencetak gain tertinggi hingga sebesar 227%. Sedangkan saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) berpotensi membukukan gain terendah di antara saham pilihan tersebut, yaitu sebesar 10,7%.

Adapun beberapa saham lain yang diperkirakan mampu memberikan gain tinggi pada 2018, yakni saham PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) sebesar 98%, saham PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebesar 51,3%, saham PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) sebesar 46,9%, dan saham PT PP London Sumatra Indonesia (LSIP) sebesar 33,3%.

Analis PT Reliance Sekuritas Indonesia Kiswoyo Adi Joe mengatakan, untuk saham big cap, ia merekomendasikan beli saham PT Astra International Tbk (ASII), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).

Selain itu, Kiswoyo menyarankan investor memilih empat saham lain, yang tidak termasuk dalam 10 besar emiten berkapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia (BEI). “Saya memberikan rekomendasi beli untuk saham PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP), PT Gozco Plantations Tbk (GZCO), dan PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT),” papar dia di Jakarta, Selasa (5/12).

Kiswoyo menegaskan, saham-saham tersebut berpeluang memberikan gain di atas 10%, jika meninjau harga per 5 Desember 2017. Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2018 diperkirakan masih berpeluang besar untuk bertumbuh, dengan level tertinggi (resistance) 6.500 dan terendah (support) 5.900-5.800. (jm)

🌲
media Indonesia: TERKOREKSINYA indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 109,229 basis poin atau 1,80% menjadi 5.952,138 terjadi karena ada rebalancing portofolio oleh para fund managers mengikuti perubahan yang ada pada indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI).
MSCI diketahui kembali melakukan perubahan komposisi portofolio dan pembobotan pada saham yang masuk daftar MSCI dan mulai berlaku pada 30 November lalu.
Setiap November dan Mei, indeks MSCI dijadikan acuan bagi para investor asing untuk menyusun ulang investasi mereka mengikuti perubahan komposisi MSCI.
Analis Reliance Securities mengatakan rebalancing yang dilakukan pada akhir November lalu seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.
"Hari Senin (4/12) atau pada hari pertama perdagangan Desember seharusnya juga sudah mulai aksi beli kembali," ujarnya saat dihubungi, akhir pekan lalu.
Berdasarkan data per 31 Oktober 2017, kinerja MSCI Indonesia hanya bertumbuh 14,86%, sedangkan indeks MSCI emerging market lainnya mencapai 32,26%.
Dari data tersebut terlihat bahwa pertumbuhan indeks MSCI Indonesia lebih rendah ketimbang emerging markets lainnya.
Karena itu, wajar para fund managers mengurangi portofolio mereka di Indonesia.
Analis Kresna Sekuritas, Etta Rusdiana Putra, juga yakin harga-harga yang sempat terkoreksi akan kembali ke harga wajar seiring dengan aksi beli pada Desember.
"MSCI itu indeks acuan. Kalau di Indonesia, mirip LQ45," ujarnya.
Saham BTN naik
Saham Bank Tabungan Negara yang dimasukkan ke indeks MSCI emerging market malah memperoleh sentimen positif.
Saham berkode BBTN itu naik 40 poin dari penutup-an sebelumnya di 3.190.
Prospek perekomian Indo-nesia yang masih cerah diyakini akan menjadi faktor pendorong para investor melakukan pembelian kembali saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Apalagi kinerja dari para emiten di BEI juga terus menunjukkan perbaikan.
Jumlah laba yang dicetak pun terus bertumbuh jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Selain itu, pada akhir tahun para emiten dan fund managers cenderung melakukan window dressing agar kinerja saham mereka terlihat lebih baik.


Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian memproyeksikan industri makanan dan minuman tetap menjadi salah satu andalan penopang pertumbuhan manufaktur dan ekonomi nasional pada tahun 2018. 
Hal itu terlihat dari konsistensi kontribusi signifikan industri mamin terhadap produk domestik bruto (PDB) industri nonmigas serta peningkatan realisasi investasi, demikian keterangan pers Kemenperin yang diterima di Jakarta, Jumat.
"Untuk itu, pemerintah terus berupaya menjaga ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan industri makanan dan minuman agar semakin produktif dan berdaya saing global. Apalagi, sektor ini basisnya nilai tambah sehingga proses hilirisasi perlu dijamin," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. 
Kemenperin mencatat, industri mkanan dan minuman (mamin) menyumbang 34,95 persen PDB industri nonmigas pada Triwulan III-2017 atau meningkat empat persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sekaligus menjadi kontributor PDB industri tertinggi dibanding sektor lainnya.
Industri mamin juga berkontribusi sebesar 6,21 persen terhadap PDB nasional pada Triwulan III-2017 atau naik 3,85 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dari sudut realisasi investasi, penanaman modal dalam negeri (PMDN) industri mamin mencapai Rp27,92 triliun pada Triwulan III-2017 atau meningkat sebesar 16,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, sementara untuk penanaman modal asingnya mencapai 1,46 miliar dolar AS.
Guna menjaga pertumbuhan sektor ini tetap tinggi, menurut Menperin, pihaknya terus mendorong pelaku industri mamin nasional agar memanfaatkan potensi pasar dalam negeri.
"Indonesia dengan memiliki jumlah penduduk sebanyak 258,7 juta orang, menjadi pangsa pasar yang sangat menjanjikan," tuturnya.
Di samping itu, industri mamin nasional semakin kompetitif karena jumlahnya cukup banyak. Tidak hanya meliputi perusahaan skala besar, tetapi juga telah menjangkau di tingkat kabupaten untuk kelas industri kecil dan menengah (IKM).
"Bahkan, sebagian besar dari mereka sudah ada yang go international," ungkap Airlangga.
Menperin pun menyatakan, pihaknya tengah memacu kinerja industri padat karya berorientasi ekspor. Untuk itu, Kemenperin mengusulkan penghitungan insentif fiskal berupa tax allowance berbasis pada jumlah penyerapan tenaga kerja.
"Regulasi ini sedang dibahas dengan Kementerian Keuangan, kami berharap tahun ini peraturannya bisa keluar," tegasnya.
Menperin juga mengapresiasi Coca-Cola Amatil Indonesia sebagai pelopor industri mamin di Indonesia yang produknya telah dipasarkan secara langsung kepada lebih dari 500 ribu pelanggan ritel baik di daerah perkotaan maupaun perdesaan.
Hingga saat ini, Coca-Cola Amatil Indonesia telah menyerap tenaga kerja sebanyak 11 ribu orang, dengan nilai investasi selama lima tahun terakhir (2012-2017) mencapai 445 juta dolar AS serta berkomitmen akan meningkatkan investasi hingga 300 juta AS dalam jangka waktu tiga tahun mendatang.
Pewarta: 
Editor: Risbiani Fardaniah
TEMPO.COJakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi akan melanjutkan tren kenaikannya pada 2018. Kenaikan laba emiten menjadi salah satu penyokongnya.  
Direktur dan Head of Equity BNP Paribas Aliyahdin Saugi mengatakan laba emiten tahun depan bisa tumbuh sebesar 10-12 persen. Dia memperkirakan indeks bisa mengikuti pertumbuhan laba emiten. "Target kami di level 6.600," tuturnya di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, Kamis, 23 November 2017. 
Aliyahdin mengatakan laju IHSG akan ditopang sektor telekomunikasi, konsumer, dan infrastruktur.  Sektor telekomunikasi diperkirakan masih mengalami peningkatan kinerja tahun depan karena industri ini mulai menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Namun persaingannya akan semakin ketat terutama tarif untuk data internet. 
Sektor konsumer diperkirakan tumbuh positif tahun depan, terutama karena tingkat likuiditas yang tinggi. Aliyahdin juga melihat sektor perbankan sedikit membaik karena rasio kredit bermasalah yang terus turun. 
Sementara itu sektor infrastruktur dinilai masih positif karena berupa investasi jangka panjang. Proyek pemerintah yang ditangani emiten di sektor tersebut akan menjadi nilai tambah tersendiri. Namun risiko dari beban utang untuk konstruksi dinilai masih cukup tinggi. Investor harus berhati-hati dalam menentukan emiten.
Salah satu sentimen positif yang mendorong laju IHSG tahun depan adalah perhelatan pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Menurut Aliyahdin, tahun politik membuat kantong masyarakat penuh sehingga belanja akan meningkat. Daya beli yang tinggi akan mendorong kinerja emiten dan mempengaruhi IHSG.
Di tahun politik, Alihaydin menuturkan masyarakat akan cenderung menahan investasi hingga pemilu selesai. Mereka khawatir dengan ketidakpastian yang mungkin timbul akibat tensi politik. Namun dia menyarankan untuk tetap berinvestasi tahun depan. "Tahun-tahun pemilu memberikanimpact kenaikan kepada indeks sebesar 0,1-0,2 persen," katanya.
Untuk obligasi, Presiden Direktur BNP Paribas Vivian Secakusuma memprediksi pasar ini juga akan tumbuh. Inflasi dan neraca perdagangan tahun depan diprediksi terkendali sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun dia meminta untuk mewaspadai volatilitas di pasar obligasi. "Karena masih akan terjadi," ucapnya.
🌱


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua lembaga keuangan asing memfavoritkan pasar saham emerging market, termasuk Indonesia. Asing menilai pasar saham di kawasan ini masih akan bullish di tahun depan.
Goldman Sachs Group dan BlackRock Group, misalnya, merilis laporan yang menyebutkan bahwa potensi investasi di emerging market pada 2018 masih menguntungkan. Analisis ini berdasarkan data historikal indeks MSCI World dan MSCI Emerging Market.
Sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu, indeks MSCI Emerging Market sudah naik lebih dari 30% dan bertengger di 1.128,49. Sedang indeks MSCI World hanya tumbuh 17% (ytd). Goldman Sachs optimistis indeks MSCI Emerging Markets bisa tembus 1.250 di akhir 2018.
Namun Morgan Stanley punya pandangan berbeda. Awal November ini, lembaga ini menurunkan rekomendasi pasar saham Indonesia menjadi underweight dari sebelumnya equal weight. Morgan Stanley melihat ada hambatan dalam persaingan dan bisnis e-commerce di Indonesia.
Yang terang, hingga kini, investor asing masih menjauhi pasar saham Indonesia. Indikasinya, sejak awal tahun hingga pekan lalu, investor asing mencatatkan net sell atau mencabut dana lebih dari Rp 25 triliun di Bursa Efek Indonesia.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra melihat, setidaknya ada tiga faktor yang bisa menjadi pertimbangan suatu negara dijadikan tujuan investasi, yakni pertumbuhan ekonomi, bisnis dan politik. Tiga faktor ini kemudian berimbas pada kondisi makro negara.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan. Selain itu, daya beli masyarakat melemah. "Juga ada risiko fiskal akibat defisit penerimaan dan belanja APBN. Utang pemerintah, rupiah, inflasi dan suku bunga juga perlu dipantau," kata dia kepada KONTAN, kemarin.
Meski begitu, Aditya sepakat Indonesia masih menarik sebagai tujuan investasi. Sebab, Indonesia sudah masuk investment grade, dan ratingnya bisa naik lagi tahun 2018.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee juga melihat valuasi dan earning per share (EPS) BEI cukup bagus. Saat ini, Hans mencatat, rata-rata pertumbuhan kinerja emiten di angka 12%.
Dengan optimisme perbaikan ekonomi Indonesia dan global, Hans percaya tahun depan kinerja korporasi bisa tumbuh 15%. "Tahun ini karena valuasi dan potensi bunga, memang asing terlihat masuk ke bond market. Setelah kuartal I-2018, mereka bisa lebih banyak inflow ke pasar saham," jelas Hans.
Dibandingkan dengan beberapa bursa di Asia, Hans melihat Indonesia masih menarik. Aditya pun menyebut bursa Indonesia lebih menarik dari bursa Malaysia dan Thailand. Tapi kenaikan indeks saham Indonesia tahun ini masih di bawah Filipina dan Thailand.
Dalam jangka panjang, bukan tak mungkin Indonesia bisa menempati posisi pertama peringkat bursa di Asia Tenggara. Dalam jangka pendek Aditya melihat posisi bursa Indonesia tetap stabil.
Aditya dan Hans sepakat IHSG bisa tumbuh 12%–15% tahun depan. Adapun untuk tahun ini, Aditya memasang target IHSG di 6.100. Sedang Hans menetapkan target 6.000.
Menjelang tahun politik di 2018 nanti, Hans memprediksi pemerintah gencar menyelesaikan semua proyek. Pemerintah juga tak akan agresif menggeber pajak. Hal ini diharapkan bisa memberikan stimulus bagi dunia usaha.
Dari luar negeri, Hans memprediksi kebijakan Presiden AS Donald Trump masih akan dominan, terutama terkait normalisasi neraca The Fed.
🍎

Senin lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan kinerja ekonomi Indonesia kuartal III/2017. Hasilnya tak terlalu mengejutkan.

Tak mengejutkan karena postur ekonomi memang tidak seperti dulu lagi, di saat kita banyak bersandar pada booming komoditas yang tidak normal. Dewasa ini adalah situasi "new normal", karena itu jadi biasa-biasa saja tatkala mendengar pengumuman BPS bahwa laju ekonomi kuartal 3 tahun ini ‘hanya’ 5,06%.
Apalagi, isu “daya beli anjlok” yang berembus kencang sejak Ramadan lalu, ternyata tidak serta merta tercermin dalam angka statistik. Terlebih, konsumsi rumahtangga masih tumbuh signifikan, meski sedikit melambat dari 4,95% menjadi 4,93%.
Mungkin ada yang berargumen, kok tidak seperti dulu, konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 7% secara tahunan?
“Ya, itu dulu bro.” Begitu mungkin cara menjawab pertanyaan “zaman now”.
Sekali lagi, ini adalah profil ekonomi new normal. Kalau mau pakai kaca spion, dulu ekonomi China juga tumbuh 12%. Sekarang cuma tumbuh 6%.
Dulu ekonomi dunia bisa tumbuh 5%, sekarang paling banter 2% atau 3%.
Inilah kenyataan sekarang, zaman "ekonomi now". Banyak parameter yang berubah, perilaku konsumen juga berubah. Ini jaman disrupsi.
Maka saya tak pernah ikut arus dengan wacana, apalagi paradigma, apabila satu bisnis menurun, atau bahkan tutup, penyebabnya semata-mata oleh karena konsumen sudah tidak mampu membeli. Ada bisnis lain yang menggantikan, mengubah model bisnis yang baru, atau perilaku konsumen yang memang mengubah pola konsumsinya.
Bisa pula konsumen menjadi lebih melihat masa depan, lebih rajin menabung, atau bahkan investasi.
Itu rasanya bukan cuma halusinasi atau isapan jempol. Coba saja simak data simpanan bank yang terus naik. Bahkan simpanan bank dari nasabah Rp100 jutaan pun juga meningkat, bukan hanya nasabah kelas miliaran rupiah.
Dan di saat investor asing kabur, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia malah pecah rekor terus-menerus beberapa hari terakhir. Siapa yang naruh dana alias beli saham? Mereka adalah investor lokal.
Saya berkeyakinan, memang ada sebagian masyarakat yang berkurang penghasilan karena pekerjaan terganggu oleh banyak perubahan. Tapi sebagian yang lain justru bertambah cuan, atau mendapatkan pekerjaan baru karena bisnis baru yang berkembang belakangan.
Mungkin sekarang orang yang punya penghasilan tidak suka lagi jalan-jalan ke mall, melainkan lebih doyan membelanjakan uangnya untuk pelesiran.
Singkat kata, memahami ekonomi zaman now tidak bisa lagi menggunakan kacamata dinosaurus. Mestinya pakai lensa pilot Star Wars.

***

Coba juga simak lebih dalam data BPS soal data pertumbuhan ekonomi, meski sebetulnya agak malas menulis angka-angka karena pasti membosankan.
Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun ini disumbang oleh Ekspor Barang dan Jasa (17,27%), diikuti Investasi sebesar 7,11%, Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (6,01%), Konsumsi Rumah Tangga (4,93%), dan Konsumsi Pemerintah 3,46%.
Dari sisi lapangan usaha, selama periode Januari-September tahun ini, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor Informasi dan Komunikasi sebesar 9,80%; diikuti Jasa Lainnya (8,71%); Transportasi dan Pergudangan (8,25%); dan Jasa Perusahaan sebesar 8,07%.
Data tersebut boleh dibilang lumayan, meski sepertinya belum melihat aspek menyeluruh dari ekonomi digital yang tumbuh kencang belakangan ini. Mungkin sebagian tercermin dari kenaikan pertumbuhan pada sektor transportasi dan pergudangan (pengiriman barang).
Data tersebut rupanya terkonfirmasi dari Direktorat Jenderal Pajak. Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa kurir, jasa sewa gudang, semuanya naik. Hingga kuartal ketiga 2017, penerimaan PPN dalam negeri tumbuh 12,1%. Ini jelas lompatan, mengingat penerimaan PPN periode sama tahun lalu hanya tumbuh 2,9%.
Sektor pariwisata juga lumayan. Data BPS menyebutkan jumlah turis asing selama tiga kuartal tahun ini mencapai 10,46 juta, naik 25,05% dibandingkan periode sama tahun 2016 yang berjumlah 8,36 juta.
Lalu kondisi bisnis pada kuartal III tahun ini terus meningkat dan optimistis, terlihat dari Indeks Tendensi Bisnis yang berada di atas 100, yakni 112,39. Indeks tendensi bisnis ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu (107), dan melonjak jika dibandingkan level 103 pada kuartal I/2017.
Di sisi konsumen, yang selalu diributkan oleh sebagian kalangan sedang lesu atau daya beli tertekan, justru indeksnya mengalami kenaikan pada kuartal ketiga tahun ini menjadi 109,42. Itu berarti konsumen kian optimistis.

***

Data ini lebih mengejutkan. Nilai ekspor Indonesia selama Januari-September 2017 telah mencapai US$123,36 miliar atau naik 17,36% dibandingkan dengan periode sama tahun 2016. Begitupun, ekspor nonmigas naik 17,37%, mencapai US$111,89 miliar. Ini adalah rekor baru, bahkan lebih tinggi dibandingkan pencapaian saat booming komoditas tahun 2011-2012 silam.
Tampaknya, sejumlah paket kebijakan ekonomi mulai membuahkan hasil, terlihat dari kinerja ekspor nonmigas hasil industri pengolahan yang naik 14,51% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016.
Ekspor hasil pertanian juga naik 18,35%, bahkan kinerja ekspor hasil tambang melonjak 34,75%. Ekspor 10 produk unggulan pun naik 23,81%, yang memberi kontribusi 50,62% total ekspor nonmigas.
Di sisi lain, catatan impor juga memberikan harapan baru. Nilai impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–September 2017 semuanya naik, masing-masing 11,81%, 15,21%, dan 9,51%.
Dengan kontribusi sebesar 75% dari total impor, kenaikan impor bahan baku yang signifikan memberikan sinyal bahwa aktivitas produksi mengalami peningkatan penting hari-hari ke depan ini. Ini memberikan indikasi dan menambah harapan dalam menopang produksi, sehingga ekspor hasil olahan akan kian meningkat di masa mendatang.

***

Investasi adalah harapan lainnya lagi. Sejalan dengan data BPS bahwa pertumbuhan investasi cukup meyakinkan, ternyata potensi investasi masih jauh lebih besar dari realisasinya.
Data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal menyebutkan bahwa realisasi investasi amat timpang jika dibandingkan dengan minat yang diajukan.
Selama tiga tahun terakhir (2014-2017), minat investasi mencapai Rp8.300 triliun, sedangkan realisasinya hanya Rp2.100 triliun. Angka realisasi investasi itu hanya 25% dari proposal investor.
Bagaimana membaca data ini? Ia adalah harapan baru yang lain. Ada stok investasi sebesar Rp6.200 triliun. Apabila ini bisa direalisasikan, maka akan menjadi mesin penggerak ekonomi yang dahsyat. Ini akan menciptakan lapangan pekerjaan dan rantai bisnis yang jauh lebih luas.
Pertanyaannya, bagaimana mengungkit stok investasi itu agar benar-benar direalisasikan? Jawabannya cuma satu: continuous reform.
Reformasi berkelanjutan di bidang-bidang strategis (kemudahan bisnis, hukum, regulasi, otonomi daerah, ketenagakerjaan, perpajakan) penting untuk terus dikelola.
Apalagi setelah Indonesia kembali naik kelas dalam peringkat kemudahan berbisnis, dari posisi 106 di tahun 2015 menjadi 91 di tahun 2016 dan naik lagi ke 72 pada tahun ini.
Sekali lagi, ini buah reformasi melalui paket kebijakan ekonomi yang dilansir sejak tiga tahun silam, mengingat peringat Indonesia sebelumnya selalu di atas 110.

***

Maka saya setuju dengan cara pandang Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam melihat ekonomi kita.
Di depan para wartawan senior anggota PWI, Pak JK mengatakan bahwa berbagai upaya pemerintah mulai membuahkan hasil yang baik. Kenaikan indeks kemudahan berusaha, inflasi terkendali, stabilisasi harga pangan, indeks saham yang terus pecah rekor, dan tingkat bunga relatif rendah, hanyalah sebagian contohnya.
Pak JK melihat, biasanya hasil sebuah kebijakan mulai terlihat sekitar 2-3 tahun. “Sekarang masuk tahun keempat, apa yang dimulai 2015-2016 hasilnya mulai tampak tahun-tahun ini,” katanya.
Wapres berkali-kali menekankan rasa optimismenya, karena memang punya dasar, dan pemerintah “keras berusaha”. Dan tahun depan, situasi akan jauh lebih baik, kata Pak JK yakin.
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana mendorong peningkatan produktivitas di semua lini, agar menopang upaya lanjutan dalam menarik investasi.
Kecurigaan terhadap modal asing seyogianya dibuang jauh-jauh, karena modal tidak memiliki warganegara. “Untuk maju tak ada cara lain tanpa investasi dari dalam dan luar,” katanya.
Birokrasi adalah soal lain lagi, kata Pak JK. Isu pemberantasan korupsi telah membuat banyak birokrat takut mengambil kebijakan, sehingga tidak ada produktivitas.
Ini juga harus dicari jalan tengah yang baik, kata Pak JK. “Kalau menimbulkan ketakutan, akan lebih bahaya daripada korupsi itu sendiri, karena tidak berani ambil keputusan,” ujarnya.
Pak JK rupaya bernyanyi dalam irama yang sama dengan Presiden Jokowi.
Banyak tantangan baru dalam ekonomi new normal ini, yang memerlukan langkah-langkah terobosan dan meluas di seluruh lini birokrasi.
Seperti Pak JK dan Pak Jokowi, goal setting birokrasi seyogianya di atas ultimate, kalau boleh meminjam istilah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Pragmatis, cepat, dan efektif. Budi Karya buka rahasia, Presidenlah yang memaksa Garuda Indonesia terbang ke Silangit, karena tidak ada maskapai yang mau terbang ke sana. Setelah itu, Silangit booming. Dan rasanya, banyak contoh lain di luar Silangit dan Toba yang sekarang terus menjadi pembicaraan.
Bagi saya, era ekonomi now, butuh birokrasi dengan mindset atau pola pikir dan "pola kerja now" juga. Jadi, bagaimana menurut Anda?
JAKARTA, KOMPAS.com - MNC Sekuritas merekomendasikan sejumlah sektor yang bisa menjadi perhatian investor Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2018 mendatang. Pilihan sektor ini mempertimbangkan pengaruh kondisi dari luar maupun dalam negeri.
"Beberapa sektor pilihan di 2018 adalah perbankan, telekomunikasi, dan tambang batu bara. Sektor-sektor ini masih prospektif dengan rekomendasi overweight," kata Head of Institutional Research MNC Sekuritas Thendra Crisnanda di Jakarta Selatan, Kamis (9/11/2017).
Thendra menambahkan, beberapa sektor lain yang dianggap netral adalah sektor konsumsi, metal, perkebunan, otomotif, konstruksi, semen, dan properti. Untuk strategi investasi saham, dia menganjurkan sell on strength secara bertahap saat ini lalu lebih agresif ketika Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG) tembus di atas level 6.100.
"IHSG diestimasikan bertumbuh dengan target di level 6.127 hingga periode pertama semester 1 tahun 2018. Peningkatan IHSG saat ini relatif terbatas sehingga berpotensi mengalami tekanan profit taking ke depan," tutur Thendra.
Dia juga berpendapat, investasi pada instrumen pasar modal oleh pelaku industri keuangan non-bank, seperti asuransi, reasuransi, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), hingga dana pensiun akan mengambil peranan dalam pergerakan IHSG tahun 2018.
Kondisi politik jelang Pilpres 2019 juga dianggap memengaruhi pasar saham, sesuai dengan periode yang sama menjelang pilpres tahun 2009 dan 2014 lalu.

🍱

ID: Ada sentimen positif yang cukup kuat menyambut tahun 2018. Tidak ada alasan cukup meyakinkan untuk pesimistis memasuki pergantian tahun. Faktor global membaik. Gejolak fiskal dan moneter mereda. Sejumlah negara maju menunjukkan kenaikan pertumbuhan ekonomi. Sedang di dalam negeri, hampir semua indikator ekonomi menunjukkan perbaikan dan Indonesia sudah memperoleh peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat internasonal.

Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diperkirakan menembus 5,4%, meningkat dari perkiraan 5,1% tahun ini. Meski 2018 adalah tahun politik, decoupling atau pemisahan kegiatan ekonomi dan politik sudah terjadi. Perebutan kekuasaan politik pada pilkada serentak, Juni 2018, dan tarik-menarik kepentingan untuk memenangi pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) yang dilakukan serentak, Maret 2019, diyakini tidak akan menimbulkan ketidakstabilan politik.

Ekonomi Indonesia yang sempat bertumbuh di atas 6% tahun 2010-2012, sejak tahun 2013 menurun di bawah 6% seiring dengan anjloknya harga komoditas di pasar internasional dan penghentian perlahan kebijakan quantitativeeasing yang diterapkan AS. Pada tahun 2013, laju pertumbuhan ekonomi 5,56%. Sedangkan pada tahun 2014, pertumbuhan ekonomi turun ke 5,01% dan pada 2015 dan 2016 masingmasing 4,88% dan 5,02%.

Dampak penurunan harga komoditas, khususnya batubara dan CPO, cukup signifikan bagi perekonomian Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi di sentra produksi komoditas, turun tajam. Pada kuartal kedua 2017, pertumbuhan ekonomi di Sumatera 4,1% dan Kalimantan 4,7%. Jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional, 5,1%. Sedang di Jawa, ekonomi bertumbuh 5,5% dan di Sulawesi 6,7%.

Meski dampak terbesar anjloknya harga komoditas dialami daerah sentra produksi, wilayah lainnya, khususnya di sentra industri manufaktur, juga terkena imbas. Permintaan terhadap produk otomotif dan elektronik, misalnya, menurun.

Dalam dua tahun terakhir, inflasi terkendali di bawah 4%. Kondisi ini terutama disebabkan oleh stabilitas harga pangan dan administered price yang tidak dinaikkan. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk kelompok konsumen tertentu tidak terlalu berdampak terhadap lonjakan harga barang dan jasa. Harga bahan bakar minyak (BBM) tetap dijaga pemerintah untuk tidak dinaikkan. Lonjakan biaya produksi BBM akibat kenaikan harga minyak mentah ditanggung PT Pertamina.

Meski cenderung melemah dalam beberapa bulan terakhir, kurs rupiah terhadap dolar AS relatif stabil sejak awal tahun. Kurs bergerak di kisaran Rp 13.300 ke Rp 13.550 per dolar AS. Stabilitas rupiah ditopang oleh surplus neraca modal dan finansial serta surplus neraca perdagangan. Cadangan devisa, untuk pertama kali dalam sejarah, menembus US$ 128 miliar, cukup untuk membiayai kebutuhan impor sembilan.

Dalam pada itu, defisit neraca transaksi berjalan menurun. Pernah mencapai 4% dua tahun lalu, saat ini, defisit transaksi berjalan tinggal 2% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit neraca jasa, bagian dari neraca transaksi berjalan, menunjukkan penurunan. Jika pada tahun 2016 defisit neraca jasa mencapai US$ 6,9 miliar, pada semester pertama 2017 defisit neraca jasa US$ 3,6 miliar.

Dengan inflasi yang terkendali dan kurs rupiah yang stabil, Bank Indonesia bisa mempertahankan suku bunga acuan bagi perbankan, BI 7-day reverse repo rate, di level 4,25%. Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) juga mematok bunga penjaminan 5,75% untuk bank umum dan 8,25% untuk BPR. Kebijakan ini mendorong penurunan suku kredit perbankan dan ekspansi kredit.

Pada tahun 2018, kredit perbankan akan kembali melaju di atas 10%. Meski ada penurunan suku cukup signfikan, perbankan nasional masih meraup net interest margin (NIM) cukup tebal, yakni rata-rata 5,5%. Dalam sembilan bulan pertama, bank-bank umum mencetak laba signifikan. Pada semester pertama 2017, perbankan mencatat kenaikan net interest margin (NIM) 5,7% dan laba operasional 17,2%. Kinerja fundamental yang mengesankan mendongkrak harga saham perbankan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Membaiknya ekonomi Eropa, AS, dan RRT akan positif bagi ekspor komoditas Indonesia. Harga sawit dan batubara bakal kembali meningkat ke level harga sebelum tahun 2013. Mengantisipasi membaiknya harga komoditas, harga saham emiten sawit dan batubara sudah mencatat kenaikan tajam di BEI.

Ancaman pelemahan kurs rupiah datang dari AS. Jika fed fund rate (FFR) dinaikkan lebih dari tiga kali, capitaloutflow bisa jadi akan meningkat. Harga saham bakal turun dan rupiah melemah. Saat ini, pasar menunggu pengganti Janet Yellen, gubernur The Federal Reserve. Presiden Donald Trump telah mengusulkan Jerome Powell kepada senat. Jika Powell figure pro-pasar, FFR takkan menjadi instrument yang terus-menerus dipakai menekan laju inflasi.

Akan tetapi, jauh lebih banyak alasan yang mendukung optimism memasuki tahun 2018. Membaiknya ekonomi global akan mendongkrak ekspor komoditas Indonesia. Dalam memperebutkan dana investasi, Indonesia memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, investasi di Indonesia menjanjikan. Peluang untuk meraih keuntungan di sektor riil maupun di investasi portofolio sangat besar. Keuntungan yang diberikan pasar saham dan surat utang Indonesia jauh lebih besar dibanding di negara lain. Kedua, iklim investasi sudah semakin baik.

Tiga lembaga pemeringkatan dunia telah memberikan investment grade kepada Indonesia. Namun, untuk lebih menarik minat investasi, pemerintah perlu lebih serius dan sistematis membenahi iklim investasi. Inkonsistensi kebijakan tidak boleh lagi ada dan yang kini ada segera ditata ulang. Kebijakan perpajakan tidak boleh menakutkan pelaku usaha. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang merugikan perusahaan hendaknya segera ditinjau kembali.



Pemerintah pun harus meningkatkan kualitas belanja untuk menggerakkan perekonomian. Hanya dengan perbaikan signifikan iklim investasi dan peningkatan belanja pemerintah untuk menggerakkan ekonomi, sentimen positif memasuki 2018 akan lebih optimal. (*)
🐃

sumber posting: investasi apa 2018

per Oktober 2017, analisis sederhana tren harga saham, setidaknya, 5 saham berKAPITALISASI TERBESAR BEI, menunjukkan bahwa tlah terjadi FLUKTUASI harga dalam periode 2012/2013 - 2017, sbb: 
pgas NGEGAS harga sahamnya

menurut gw: hanya ASII yang kurang bergairah trennya  analisis teknikal sederhana: ASII, Oktober 2017... hmsp sang jawara kapitalisasi 2013 (Juni) : Daftar Kapitalisasi 2013 - 2017 tak mampu mempertahankan posisinya, terutama sejak 2016... bbca n tlkm makin menunjukkan tren sebagai saham berkapitalisasi terbesar khususnya sejak 2015... namun secara keseluruhan, dalam grafik ini, 4 saham maseh mempertahankan posisi terbesar / mendekati terbesarnya s/d 2017: bbca, tlkm, hmsp, n unvr... excl patut dicatat juga terutama sejak 2017 awal, padahal dalam daftar 2013 di posisi buncit ... posisi tlkm tetap lebe tinggi dibandingkan dengan excl seh ... well, secara umum: ada ekspektasi 4 saham yang maseh layak diinvestasi yaitu: bbca, tlkm, hmsp, n unvr... well, gw mah hepi aza lah :)
🍉


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak hanya indeks harga saham gabungan (IHSG) saja yang menyentuh rekor pada penutupan perdagangan Selasa (3/10) lalu. Emiten bank PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga ikut menyentuh rekor sebagai emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa pada hari yang sama.
Menurut catatan KONTAN, kapitalisasi pasar BBCA berhasil menembus angka Rp 500 triliun pada penutupan perdagangan Selasa lalu. Kapitalisasi pasar BBCA mencapai Rp 501,73 triliun atau setara dengan US$ 37,24 miliar. Ini membuat BBCA menjadi emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di pasar modal Indonesia. 
Angka kapitalisasi pasar BBCA tersebut, menurut pengamat pasar modal Teguh Hidayat, sudah cukup besar untuk ukuran pasar Asia Tenggara. Jumlah tersebut hampir mendekati kapitalisasi pasar (market cap) bank terbesar Singapura, DBS, yang memiliki market cap sebesar US$ 39,74 miliar. Namun market cap BBCA masih kalah dengan jawara di FTSE Straits Times Index, Jardine Strategic Holdings Ltd sebesar US$ 48,62 miliar.
Teguh pun melihat BBCA masih mampu bersaing dengan jawara market cap di bursa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia, Thailand, maupun Filipina. "Di Asia Tenggara, saingan kita cuma bursa Singapura karena dari sisi kapitalisasi pasar secara keseluruhan saja IHSG masih kalah," kata Teguh, Rabu (4/10). Saat ini, jumlah kapitalisasi pasar IHSG mencapai angka Rp 6.546 triliun atau setara dengan US$ 477,66 miliar sementara market cap bursa Singapura mencapai US$ 546,62 miliar.
Namun, dari segi bisnis dan kinerja BBCA masih belum mampu bersaing dengan jawara market cap Singapura, Jardine Strategic Holdings Ltd. Pasalnya, perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar sebesar US$ 48,62 miliar ini punya porsi kepemilikan saham di salah satu perusahaan dengan market cap besar di Indonesia, PT Astra International Tbk (ASII).
Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo pun berpendapat bahwa BBCA masih bisa bersaing dengan emiten dengan market cap terbesar di Asia Tenggara. "Tetapi jika disandingkan dengan pemegang rekor market cap bursa negara maju, BBCA masih sangat ketinggalan," ujarnya.
Ia pun optimistis BBCA masih bisa berkembang di masa depan. Populasi Indonesia yang besar membuat emiten bank ini masih memiliki peluang untuk meningkatkan likuiditasnya sehingga market cap anak usaha Grup Djarum ini masih mampu tumbuh.

Comments